Sabtu, 26 Maret 2022

30 Menit yang Menginspirasi Bersama Ahmad Rifai Rif'an

Dok. Pri. Arinal

Kemarin sore ikut bedah bukunya Kak Ahmad Rifai Rif'an. Salah satu penulis idola waktu di pondok dulu. Yang bukunya sampai oper sana, oper sini saking banyaknya yang ngantri 😂

Ya, karena tulisan-tulisannya ringan, renyah, tapi tetap bergizi. Saat membacanya sering terbersit dalam hati, "Ah, ini aku banget". Seperti salah satu bukunya yang kemarin dibedah berjudul, "Selesai Dengan Diri Sendiri". Meski hanya 30 menit, tapi banyak sekali insight yang aku dapatkan. Semoga catatan ini bisa sedikit mewakili tentang gambaran umum isi bukunya, ya 😁

Frasa ini pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi kalangan anak muda yang dalam proses pencarian atau membangun jati diri. Di antara permasalah anak muda saat ini adalah banyak anak muda yang tahu minatnya di mana sehingga banyak mahasiswa yang merasa salah jurusan, atau ketika sudah lulus dari bangku perkuliahan malah bingung mau kerja apa. 

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka belum mengenal diri mereka sendiri, apa minatnya, apa potensi yang bisa dikembangkannya. 

Meski dalam artikel atau webinar topik ini sering dibahas, tapi sudut pandang seorang Kak Rifai selalu menarik untuk dikupas, tentang bagaimana pemaknaan seseorang bahwa dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bahkan dalam bukunya, Kak Rifai menekankan untuk tidak menikah sebelum selesai dengan dirinya sendiri karena begitu pentingnya untuk mengenal diri. 

Parameter seseorang selesai dengan diri sendiri adalah mereka yang memiliki batas cukup terhadap kebutuhan diri sendiri, selanjutnya dia hanya akan fokus berkontribusi dan memberi yang sebanyak-banyaknya. Dalam Islam, merasa cukup dikenal dengan qonaah. Yaitu menerima apa yang sudah menjadi bagiannya. 

Bedakan antara merasa cukup dan merasa puas. 'Merasa cukup' artinya dia bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini, tapi masih punya target yang diperjuangkan. Sementara orang yang 'merasa puas', ya dia puas dengan pencapaian hari ini dan tidak memiliki target ke depannya. 

Lalu bagaimana agar kita merasa cukup? Tidak membandingkan diri kita dengan orang lain. Apalagi kita mempunyai garis start yang berbeda meskipun mungkin usia kita sama. 

Orang yang sudah mengenali batas dirinya, dia tidak akan mudah membandingkan dengan orang lain. Saingan terbesar kita adalah diri sendiri di masa lalu. Kalau kita terus mengejar orang lain, tidak akan ada selesainya. 

Ya, terkadang kita menyadari itu. Kadang juga terlalu banyak mendengarkan perkataan orang seolah-olah pendapat mereka lebih baik dari pada yang sebenarnya.

Ada beberapa pertanyaan menarik yang menurutku cukup mewakili kegalauan anak muda. 

Saat punya impian yang tinggi, bagaimana membatasinya? 

Kita sering mendengar perkataan, "Mimpi itu jangan tinggi-tinggi, nanti kalau jatuh (gagal) malah sakit."

Justru impian itu harus setinggi mungkin, unbelievable. Karena kalau mimpinya terlalu realistis, usaha yang akan dikeluarkan pasti biasa saja. Berbeda dengan mimpi yang setinggi langit, untuk mewujudkannya seseorang akan berjuang sebaik dan semaksimal mungkin. 

Mimpi setinggi langit, kalau jatuh mungkin dia jatuh di antara bintang gemintang. Mimpi setinggi atap, jatuhnya ke lantai. 

Namun, yang perlu digaris bawahi adalah planning atau perencanaannya. Mimpi yang setinggi langit itu dibreakdown, agar mudah dicapai dengan tindakan-tindakan yang terencana.

Harus mulai dari mana untuk menumbuhkan potensi diri? 

Selagi muda, perbanyak mencoba hal-hal baru. Dari percobaan itu nanti akan ditemukan mana yang sesuai dengan diri kita. Mana bidang yang jika kita lakukan berdampak bagi lingkungan. 

Ada 3 parameter yang bisa kita gunakan untuk mengukur apakah itu potensi diri kita atau bukan. 

Pertama, banyak apresiasi dari orang lain. Kedua, kita menikmatinya bahkan meski tanpa dibayar. Ketiga, kita merasa cepat bertumbuh di bidang tersebut.

Hubugan anak dan ortu, siapakah yang harus menyesuaikan? 

Tergantung di mana posisi kita saat ini. Jika posisi kita sebagai orang tua, maka jadilah orang tua yang bisa menyesuaikan dengan life style anak. Tapi jika posisi kita sebagai anak, maka kita yang harus menyesuaikan dengan orang tua. 

Kenapa jawabannya adalah penyesuaian? Karena kita tidak bisa mengendalikan perubahan orang lain. Yang bisa kita kendalikan adalah respon diri terhadap apa yang terjadi di sekitar.

Kalau saat ini kita masih gelisah, bisa lakukan hal-hal seperti ini ; memperbanyak mencoba hal-hal baru, banyak bergaul dengan orang beragam, sering-sering bepergian ke tempat yang jauh, dari sana kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang baru. 

Memang kita sekarang hidup di era digital, tapi kehidupan di dunia nyata tetap hal yang vital. Apa yang kita citrakan di media sosial itu adalah citra terbaik. Sedangkan bergaul secara langsung, orang lain akan tahu bagaimana diri kita sebenarnya.

Jember

Ahad, 27 Maret 2022

30 Menit yang Menginspirasi Bersama Ahmad Rifai Rif'an

Dok. Pri. Arinal Kemarin sore ikut bedah bukunya Kak Ahmad Rifai Rif'an. Salah satu penulis idola waktu di pondok dulu. Yang bukunya sam...